Senin, 30 Maret 2015

PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH (ANALISIS PERKEMBANGAN PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU DAN GOLPUT)




PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH
(ANALISIS PERKEMBANGAN PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILU DAN GOLPUT)

abstrak
Indonesia sebagai negara demokrasi telah meksanakan pemilihan umum sebanyak duabelas kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014 dengan berbagai dinamika politik yang terjadi dengan angka golput 3,5% - 23,4 %. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu. Tentu saja ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal seperti faktor teknis yang menyebabkan pemilih tidak bisa ikut pemilu seperti sakit, faktor pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan karena pada umumnya masyarakat Indonesia umumnya bekerja dibidang nonformal seperti bertani, tukang ojek dan pedagang, jika mereka tidak bekerja maka tidak akan mendapat uang, faktor administrasi seperti tidak terdafar sebagai calon pemilih dikarenakan tidak memiliki KTP atau identitas lainnya, faktor sosialisai mengenai politik yang sangat kurang dari partai – partai politik dan struktur politik lainnya serta stigma – stigma atau doktrin masyarakat yang buruk terhadap pemerintahan di Indonesia terutama sistem politiknya yang mengatakan bahwa politik itu kotor, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan atau kekuasaan yang membuat masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Namun hal ini bisa diatasi dengan mensosialisasikan politik ke masyarakat secara berkala tidak hanya saat mau pemilu saja, memberikan pendidikan politik di setiap sekolah, dan melakukan pemilu sesuai asas – asas pemilu.

PENDAHULUAN
Pemilu merupakan salah satu tonggak penting yang merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada negara demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum yang dilakukan secara sistematik dan berkala. Oleh karenanya pemilu digolongkan juga sebagai elemen terpenting dalam sistem demokrasi. Apabila suatu negara telah melaksanakan proses pemilu dengan baik, tranparan, adil, teratur dan berkesinambungan, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang tingkat kedemokratisannya baik, namun sebaliknya apabila suatu negara tidak melaksanakan pemilu atau tidak mampu melaksanakan pemilunya dengan baik, dimana terjadinya berbagai kecurangan, deskriminasi, maka negara itu pula dinilai sebagai negara yang anti demokrasi ( dalam Doni Hendrik 2010:137).
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sebelas  kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler, yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014 untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai telah melakukan lompatan demokrasi (Soebagio 2008:82).
Namun jika dilihat dari aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih, atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun 1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah, terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5% (Soebagio 2008:82).
Realitas tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya. Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik (Soebagio 2008:83).


KAJIAN TEORI
A.    PEMILU
Pemilu (pemilihan umum) bagi kebanyakan orang dianggap sebagai sarana penting agregasi dan rtikulasi kepentingan masyaraakat. Baik dalam fungsi hak pribadi maupun kelompok. Dasar pemikiraan ini menggap lewat pemilu pemerintahan dibentuk dan dikembangkan, meskipun tidak ingin diubah. Karena didalam pemilu seemua kepentingan, aspirasi, politik, dan dampak berbagai aspek muncul ke permukaanuntuk kemudian berkompetisi membentuk pemerintahan. Sehingga komposisi pemerintahan atau negara sangat bergantung dari proses pemilu yang bertambah demokratis atau tidak (mengutip pendapat Aribowo 1996:3).
Adapun yang dimaksud dari pemilu itu sendiri adalah salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada demokrasi perwakilan. Dengan demikian pemilu dapat diartikan sebagai “ mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai” (Ramlan, 1992) di akses dari http://masbembengs.blogspot.com/2009/09/partisipasi-politik-masyarakat-dalam.html ). Yang kemudian di sebutkan dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Menjelaskan bahwa Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan defenisi pemilu dan pilkada menurut para ahli yaitu diantaranya:
1.      Menurut Samuel (2006) Pemilu adalah media pembangun Partisipasi Politik rakyat dalam Negara modern.
2.      Pemilihan Umum adalah salah satu mekanisme Demokrasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
3.      Pengertian PILKADA ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh Indonesia (di download dari http://masbembengs.blogspot.com/2009/09/partisipasi-politik-masyarakat-dalam.html ).
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan pemilu merupakan media pembangun Partisipasi Politik Masyarakat/Pemilih dan sebagai sebuah sarana untuk mengisi sebuah jabatan serta pelaksanaannya yang bersifat langsung, umum, bebas, jujur dan adil.
a.      Fungsi Pemilu
Fungsi pemilu (dalam Kansil 2000:241) yaitu:
1.      Mempertahankan dan mengembangkan sendi – sendi demokrasi di Indonesia.
2.      Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
3.      Menjamin suksesnya perjuangan orde baru : tetap tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
b.      Asas – asas pemilu
Asas – asas pemilu pemilu (dalam Kansil 2000:239-240) yaitu:
·         Langsung, Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani, tanpa perantara.
·         Umum, Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
·         Bebas, Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa paksaan dari siapapun. Didalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
·         Rahasia, Dalam memberikan suaranya pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun, pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan
·         Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
·         Adil Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilu dan peserta pemilu mendapat peralatan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
c.       Tujuan Pemilu
Jimly Asshiddiqie merumuskan tujuan penyelenggaraan pemilu menjadi 4 ( dalam Sukriono 2009:20), yaitu :
a. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai
b. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan
c . untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat
d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
B.     PARTISIPASI
Secara etimologis, patisipasi berasal dari bahasa latin patisipare yang berarti mengambil bagian atau turut serta. Sastrodipoetra dalam Saiful Arif (2012) di download dari http://badandiklat.jatengprov.go.id/index.php?p=wi&m=dt&id=103, menyatakan partisipasi sebagai “keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama”. Sementara Rahnema (Saiful Arif, 2012 : 45) menyatakan patisipasi sebagai “the action or fact or partaking, having or forming a part of”.
Partisipasi politik memiliki pengertian yang beragam. Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang partisipasi politik diantaranya yaitu:
©      Menurut Ramlan Surbakti (2007:140) yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya
©      Menurut Miriam Budiardjo (2013) di download dari http://badandiklat.jatengprov.go.id/index.php?p=wi&m=dt&id=103, partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti: memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya.
©      Menurut Davis (2005) dalam Hartina (2014 : 1546) “Partisipasi adalah Keterlibatan pikiran dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang memberikan semangat untuk menyokong kepada tujuan kelompok dan mengambil bagian tanggung jawab untuk kelompok itu sendiri.”
©      Sumarto (2008) dalam Hartina (2014 : 1546) mengatakan bahwa Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasi.
©      Menurut Joko J. Prihatmoko (dalam Yusuf A.R 2010: 14-15), partisipasi politik adalah aktivitas yang dengannya individu dapat memainkan peran dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk memberi andil dalam menggariskan tujuan-tujuan umum kehidupan masyarakat tersebut, dan dalam menentukan sarana terbaik untuk mewujudkannya.
©      Menurut Arbi Sanit (dalam Yusuf A.R 2010: 15), partisipasi politik adalah peran serta masyarakat secara kolektif di dalam proses penentuan pemimpin, pembuatan kebijaksanaan publik, dan pengawasan proses pemerintahan.
©      Menurut Rush and Althoff (2010) dalam Hartina (2014 : 1546) Partisipasi Politik adalah keterlibatan individu dalam berbagai sistem dan aktivitas politik. Aktivitas politik tersebut bisa bergerak dari keterlibatan sampai pada keinginan untuk menduduki jabata tertentu.”
©      Menurut Samuel (2008) dalam Hartina (2014 : 1546) “Partisipasi Politik merupakan kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah.”
©      Menurut Gabriel (2005) dalam Hartina (2014 : 1546 - 1547) bentuk Partisipasi Politik yaitu :
1.      Konvensional adalah pemberian suara (Voting), Diskusi Politik, Kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan pejabat Politik dan administratif.
2.      Nonkonvensional adalah pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda (pengerusakan, pengeboman, dan pembakaran), tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan dan pembunuhan), serta perang gerulya dan revolusi.
Dapat disimpulkan bahwa Partisipasi Politik adalah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik dalam rangka mempengaruhi pembuatan keputusan pemerintah salah satunya dengan ikut memberikan aspirasinya pada saat Pemilu.
C.    PEMILIH
Menurut Hartina (2014 : 1546) pasal 1 ayat (22) UU No. 10 Tahun 2008, Pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin. Kemudian Pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pemilih yang memiliki hak adalah warga Negara Indonesia yang didaftarkan oleh penyelenggara Pemilu dalam Daftar Pemilihan dan pada hari Pemungutan Suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin (dalam Hartina 2014 : 1547). Merujuk dari pendapat tersebut Gigerenzer & Goldstein (2011) dalam Hartina (2014 : 1547) menyebutkan bahwa terdapat kelompok Masyarakat/Pemilih yang lebih mengutamakan rasionalitas dalam menentukan siapa yang akan mereka pilih. Sehingga disimpulkan bahwa Pemilih merupakan Warga Negara Indonesia yang namanya terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan telah Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin.
D.    KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH
Menurut Daniel.S. Salosa (2005) dalam Juprianus (2014:2030) Komisi Pemilihan Umum Daerah yang disingkat KPUD adalah komisi yang telah diberi tugas dan wewenang dari KPU pusat untuk menyelenggarakan Pemilukada didaerah-daerah yang dimulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengesahan dan pelantikan.

ANALISIS MENGENAI PERKEMBANGAN PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN GOLPUT

Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Jadi, salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan. A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum merupakan sarana pelaksana asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politis rakyat sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil - wakilnya untuk menjalankan pemerintahan (dalam Anjalline, dkk 2014 : 42). Seperti yang kita ketahui bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik masyarakat atau pemilih.
Dengan mengutip pendapat Hartina (2014 : 1551), partisipasi politik pemilih adalah salah satu bentuk pemberian aspirasi masyarakat melalui pemilukada. Menurut Ibrahim (2005) “partisipasi politik didefenisikan sebagai keikutsertaan warga negara dalam bentuk yang terorganisir dalam membuat keputusan-keputusan politik, dengan keikutsertaannya yang bersifat sukarela atas kemauan sendiri, didasari oleh tanggungjawab terhadap tujuan sosial secara umum dan dalam koridor kebebasan berpikir dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Masyarakat atau pemilih yang namanya terdaftar dalam daftar pemilih tetap, banyak masyarakat yang mempergunakan kesempatan tersebut untuk menyampaikan aspirasinya melalu pemilukada ini dengan ikut memberikan suaranya pada pelaksanaan pemilukada tersebut. Namun ada juga sebagian masyarakat yang enggan berpartisipasi didalamnya karna berpikir tidak ada perubahan yang signifikan pada mereka jika ikut berpartisipasi ataupun tidak ikut berpartisipasi.
Merujuk pemikiran politik tersebut (dengan mengutip pendapat Soebagio 2008:83) dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Secara kuantitatif tampilan tingkat partisipasi politik dalam Tabel 1 menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi politik pada pemilu rezim Orde Lama (1995), rezim Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relative rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Politik Pemilih dan Golput Dalam Pemilu di Indonesia
No.
Pemilu
OPP
Tingkat Partisipasi
Politik (%)
Golput
(%)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11
1955
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Pileg 2004
Pilpres I
Pilpres II
118
10
3
3
3
3
3
48
24
24
24
91,4
96,6
96,5
96,5
96,4
95,1
93,6
92,6
84,1
78,2
76,6
8,6
3,4
3,5
3,5
3,6
4,9
6,4
7,3
15,9
21,8
23,4
Sumber: PPs UNIS Tangerang 2008, Diolah dari KPU dan BPS (dalamSoebagio 2008:83).
Cukup tingginya tingkat partisipasi politik pemilih pada pemilu era Orde Baru (1971 s/d 1977) tersebut, dinilai oleh komunitas akademik merupakan bentuk partisipasi politik yang dimobilisasikan, yaitu bukan bentuk partisipasi politik secara sukarela atau atas kesadaran politik secara personal. Penilaian tersebut relevan dengan pendapat Wiener (1994) dalam Soebagio (2008:84) bahwa:
Beberapa studi secara eksplisit tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang dimanipulasikan sebagai partisipasi politik, yaitu lebih menekankan sifat sukarela dari partisipasi dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah Pemerintah tidak termasuk partisipasi politik”.
Di era Orde Baru partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan kontribusi hasil mobilisasi politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde Baru, bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat karismatik sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi pemerintahan sebagai wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar. Kinerja kolaboratif tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat Golput. Namun secara empirik terjadi fenomena menarik mulai penyelenggaraan Pileg 2004, dimana tingkat partisipasi politik menunjukkan trend penurunan, yaitu 84.1%, dan kemudian turun lagi pada Pilpres II menjadi 76.6% disatu sisi, dan disisi lain angka Golput juga menunjukkan trend peningkatan secara potensial, yaitu pada Pileg 2004 sebesar 15.9% meningkat menjadi 23.4% pada Pilpres II(Soebagio 2008:84).
Kondisi peningkatan jumlah Golput di wilayah partisipasi politik tingkat nasional tersebut, nampaknya juga menular pada wilayah partisipasi politik tingkat lokal dalam proses politik penyelenggaraan Pilkada, sebagai bagian integral dari kegiatan Pemilu, terutama yang berlangsung di wilayah Pulau Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Tabel 2 (Soebagio 2008:84).
Tabel 2. Perkembangan Tingkat Golput Dalam Pilkada di Pulau Jawa
No.
Provinsi
Pelaksanaan
Pemilu
Tingkat Golput
(%)
1
2
3
4
5
Banten
DKI
Jabar
Jateng
Jatim
26-11-2006
08-08-2007
13-04-2008
22-06-2008
29-07-2008
39,17
34,59
32,70
41,50
39,37
Sumber: PPs UNIS Tangerang 2008, Kompas diolah (dalam Soebagio 2008:84).
Tampilan data aktual hasil Pilkada tersebut menunjukkan, bahwa secara kuantitatif tingkat Golput cukup signifikan, yaitu mencapai prosentase rata-rata lebih dari 30% dari jumlah pemilih terdaftar, dan tentunya secara kualitatif cukup memberikan warning bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Secara empirik peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas (Soebagio 2008:84) sebagai berikut:
a.       Pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
b.      Menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya.
c.       Merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik.
d.      Tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang mendukungnnya
e.       Kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.
f.       Kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas.
Secara prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik, seperti dikemukakan oleh McClosky (1972) dalam Soebagio (2008:83) bahwa:
“Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji”.
Bahkan secara spesifik kondisi tersebut juga akan diwarnai eksistensi golput juga akan mengalami eskalasi, yaitu tidak hanya di wilayah masyarakat perkotaan yang relatif terdidik, tetapi juga akan menyebar ke wilayah masyarakat pedesaan yang potensi jumlah pengangguran dan masyarakat miskin cukup signifikan (Soebagio 2008:85).
Kekecewaan masyarakat terhadap proses demokrasi dalam pemilihan umum yang lalu karena banyaknya janji-janji politik yang dilakukan oleh politisi, masyarakat sudah sadar akan janji – janji politik sehingga memutuskan untuk tidak memilih (golput). Ekspresi golongan putih (golput), juga telah menjadi bagian demokrasi, tentu tidak bisa dielakkan dalam setiap momen pemilihan umum. Menurut persepsi ahli-ahli politik, golput itu sendiri adalah sebagai bentuk menifestasi dari demokrasi. Melakukan sikap golput karena tidak ada pilihan baginya baik terhadap partai maupun terhadap kandidat yang diusung dan atau ditetapkan KPU. Itulah sebabnya diperlukan penguatan sistem kepartaian dalam rangka perjalanan sebuah sistem politik yang demokratis. Walaupun secara internal, partai politik (parpol) masih banyak menyisakan masalah yang pelik terkadang sungguh amat ironis, karena gagal mempraktekkan demokrasi internal mereka sendiri (dengan mengutip pendapat Patawari 2012:3).
            Ada banyak lagi penyebab terjadinya golput pada saat pemilu. Hal ini di dapat di buktikan dengan data golput dalam tabel di atas. Kemudian dapat disimpulkan penyebab terjadinya golput terjadi karena beberapa faktor (dalam Bismar Arianto 2011:56-58) yaitu:
1.      Faktor Internal
a.       Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan pemilih sedang sakit (faktor teknis mutlak), pemilih sedang ada kegiatan yang lain (faktor teknis tolerir) serta berbagai hal lainnya yang sifatnya menyangkut pribadi pemilih.
b.      Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88 %), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 %), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 %).
Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.
2.      Faktor Eksternal
a.      Faktor Administratif
Faktor adminisistratif adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Maka masyarakat baru bisa terdaftar sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
Golput yang diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat. Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir terjadi golput karena aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir golput administratif.
b.      Sosialisasi
Sosialisasi atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang lebih kecil RT/RW.
Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24 partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi terhadap masyarakat.
Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai. Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai penting, apalagi bagi masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
c.       Faktor Politik
Faktor politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada politisi.
Faktor lain adalah sebagian politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya, tingkah laku politisi yang banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen). Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangkan sebagian masyarakat kita, politik dengan melakukan transaksi (money politik) semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung atau memilih jika mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji.
Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang tidak baik.
KESIMPULAN
©      Pemilu merupakan media pembangun Partisipasi Politik Masyarakat/Pemilih dan sebagai sebuah sarana untuk mengisi sebuah jabatan serta pelaksanaannya yang bersifat langsung, umum, bebas, jujur dan adil.
©      bentuk Partisipasi Politik yaitu :
a)      Konvensional adalah pemberian suara (Voting), Diskusi Politik, Kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan pejabat Politik dan administratif.
b)      Nonkonvensional adalah pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan politik terhadap harta benda (pengerusakan, pengeboman, dan pembakaran), tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan dan pembunuhan), serta perang gerulya dan revolusi.
©      Penyebab terjadinya golput pada saat pemilu:
§      Faktor internal
1.      Teknis
2.      Pekerjaan
§      Faktor eksternal
1.      Administrasi
2.      Sosialisasi
3.      Politik
Masyarakat merupakan faktor sentral dalam suatu negara demokrasi. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, demokrasi tidak akan dapat diwujudkan, karena hakekat demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Salah satu peranan masyarakat dalam negara demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam Pemilu.

SARAN
Saran saya untuk mengurangi angka golput dan meningkatkan partipasi masyarakat dalam pemilu sebaiknya lebih meningkatkan atau memaksimalkan pendidikan politik di setiap sekolah untuk mengubah pemahaman masyarakat bahwa politik itu kotor, buruk dan sebagainya, struktur politik atau elit politik sebaiknya menjalankan fungsi, peran, tugas dan tanggung jawabnya sesuai fungsinya masing – masing demi kebaikan bersama, memaksimalkan fungsi sosialisasi politik kepada msyarakat,

DAFTAR PUSTAKA

Aribowo, dkk. 1996. Mendemokratisasi Pemilu. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM)
Kansil, C.S.T. 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta:PT. Rineka Cipta
Ramlan, Surbakti. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana
Indonesia
Jurnal
Anjalline, dkk. 2014. Pengaturan Dana Kampanye Pemilihan Umum Sebagai Tanggung
Jawab Calon Anggota Legislatif Berdasarkan Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jurnal Lentera Hukum,volume 1, no.1
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. Jurnal
Ilmu Politik Dan Ilmu Pemerintahan, Volume 1, No. 1
Hartina, Andi. 2014. Partisipasi Politik Pemilih Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Provinsi Kalimantan Timur 2013 Di Desa Saliki Kecamatan Muara Badak
Kabupaten Kutai Kartanegara. Journal Administrasi Negara Volume 5, No. 3
Hendrik, Doni. 2010. Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Rendahnnya Partisipasi Politik
Masyarakat Dalam Pilkada Walikota Dan Wakil Walikota Padang Tahun 2008. Jurnal Demokrasi Volume. 9, No. 2
Juprianus, Welsen. 2014. Peran Komisi Pemilihan Umum Daerah (Kpud) Dalam
Melaksanakan Pilkada Tahun 2011 Di Kabupaten Malinau. jurnal Ilmu
Pemerintahan, Volume 2, No. 2
Patawari. 2012. Sistem Pemilihan Umum Legislatif. Volume 12 No. 1
Soebagio, H. 2008. Implikasi Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di
Indonesia. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Volume 12, No. 2
Sukriono, Didik. 2009. Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia. Jurnal Konstitusi,
Volume 2, No. 1
Yusuf A.R, M. 2010. Peran Komisi Pemilihan Umum (Kpu) Dalam Pendidikan Politik.
Ganec Swara Volume 4 No.1
Artikel Online