PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA
DAERAH
(ANALISIS PERKEMBANGAN PARTISIPASI PEMILIH DALAM
PEMILU DAN GOLPUT)
abstrak
Indonesia sebagai negara demokrasi telah meksanakan
pemilihan umum sebanyak duabelas kali yaitu tahun 1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014 dengan berbagai
dinamika politik yang terjadi dengan angka golput 3,5% - 23,4 %. Hal ini
menunjukkan semakin berkurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
pemilu. Tentu saja ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor baik internal
maupun eksternal seperti faktor teknis yang menyebabkan pemilih tidak bisa ikut
pemilu seperti sakit, faktor pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan karena pada
umumnya masyarakat Indonesia umumnya bekerja dibidang nonformal seperti bertani,
tukang ojek dan pedagang, jika mereka tidak bekerja maka tidak akan mendapat
uang, faktor administrasi seperti tidak terdafar sebagai calon pemilih
dikarenakan tidak memiliki KTP atau identitas lainnya, faktor sosialisai
mengenai politik yang sangat kurang dari partai – partai politik dan struktur
politik lainnya serta stigma – stigma atau doktrin masyarakat yang buruk
terhadap pemerintahan di Indonesia terutama sistem politiknya yang mengatakan
bahwa politik itu kotor, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kedudukan
atau kekuasaan yang membuat masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam
pemilu. Namun hal ini bisa diatasi dengan mensosialisasikan politik ke
masyarakat secara berkala tidak hanya saat mau pemilu saja, memberikan pendidikan
politik di setiap sekolah, dan melakukan pemilu sesuai asas – asas pemilu.
PENDAHULUAN
Pemilu merupakan salah satu tonggak
penting yang merepresentasikan kedaulatan rakyat, sehingga dapat dikatakan
bahwa tidak ada negara demokrasi tanpa memberikan peluang adanya pemilihan umum
yang dilakukan secara sistematik dan berkala. Oleh karenanya pemilu digolongkan
juga sebagai elemen terpenting dalam sistem demokrasi. Apabila suatu negara
telah melaksanakan proses pemilu dengan baik, tranparan, adil, teratur dan berkesinambungan,
maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai negara yang tingkat
kedemokratisannya baik, namun sebaliknya apabila suatu negara tidak
melaksanakan pemilu atau tidak mampu melaksanakan pemilunya dengan baik, dimana
terjadinya berbagai kecurangan, deskriminasi, maka negara itu pula dinilai
sebagai negara yang anti demokrasi ( dalam Doni Hendrik 2010:137).
Sebagai
konsekuensi negara demokrasi, Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali pemilihan umum (Pemilu) secara reguler,
yaitu Tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014
untuk pemilihan calon legislatif (Pileg) dan pemilihan calon presiden dan wakil
presiden (Pilpres). Secara spesifik dunia internasional memuji, bahwa Pemilu
Tahun 1999 sebagai Pemilu pertama di era Reformasi yang telah berlangsung
secara aman, tertib, jujur, dan adil dipandang memenuhi standar demokrasi
global dengan tingkat partisipasi politik 92,7%, sehingga Indonesia dinilai
telah melakukan lompatan demokrasi (Soebagio
2008:82).
Namun jika dilihat dari
aspek partisipasi politik dalam sejarah pesta demokrasi di Indonesia. Pemilu
tahun 1999 merupakan awal dari penurunan tingkat partisipasi politik pemilih,
atau mulai meningkatnya golongan putih (golput), dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya
dengan tingkat partisipasi politik pemilih tertinggi 96,6% pada Pemilu tahun
1971. Lebih-lebih jika dinilai dengan penyelenggaraan Pilkada (Pemilihan Kepala
Daerah) sebagai bagian dari Pemilu yang telah berlangsung di beberapa daerah,
terutama di wilayah Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk Indonesia juga
menunjukkan potensi Golput yang besar berkisar 32% sampai 41,5% (Soebagio
2008:82).
Realitas tersebut
mengindikasikan bahwa telah terjadi apatisme di kalangan pemilih, di saat arus
demokratisasi dan kebebasan berpolitik masyarakat sedang marak-maraknya.
Fenomena tersebut sepertinya menguatkan pernyataan Anthony Giddens (1999) dalam
bukunya Runaway World, How Globalisation is Reshaping Our Lives. “haruskah
kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik di mana demokrasi
sedang marak”. Tentunya potensi Golput dalam pesta demokrasi
nasional maupun lokal tersebut kiranya cukup mengkhawatirkan bagi perkembangan
demokrasi yang berkualitas. Sebab potensi Golput yang menunjukkan eskalasi
peningkatan dapat berimplikasi melumpuhkan demokrasi, karena merosotnya
kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi
politik (Soebagio
2008:83).
KAJIAN
TEORI
A.
PEMILU
Pemilu
(pemilihan umum) bagi kebanyakan orang dianggap sebagai sarana penting agregasi
dan rtikulasi kepentingan masyaraakat. Baik dalam fungsi hak pribadi maupun
kelompok. Dasar pemikiraan ini menggap lewat pemilu pemerintahan dibentuk dan
dikembangkan, meskipun tidak ingin diubah. Karena didalam pemilu seemua
kepentingan, aspirasi, politik, dan dampak berbagai aspek muncul ke
permukaanuntuk kemudian berkompetisi membentuk pemerintahan. Sehingga komposisi
pemerintahan atau negara sangat bergantung dari proses pemilu yang bertambah
demokratis atau tidak (mengutip pendapat Aribowo
1996:3).
Adapun
yang dimaksud dari pemilu itu sendiri adalah salah satu
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan pada demokrasi
perwakilan. Dengan demikian pemilu dapat diartikan sebagai “ mekanisme
penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau
partai yang dipercayai” (Ramlan, 1992) di
akses dari http://masbembengs.blogspot.com/2009/09/partisipasi-politik-masyarakat-dalam.html ). Yang
kemudian di sebutkan dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Menjelaskan
bahwa Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan
defenisi pemilu dan pilkada menurut para ahli yaitu diantaranya:
1. Menurut
Samuel (2006) Pemilu adalah media pembangun Partisipasi Politik rakyat dalam
Negara modern.
2. Pemilihan
Umum adalah salah satu mekanisme Demokrasi pada Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tercantum pada pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
3. Pengertian
PILKADA ialah pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat daerah
tersebut untuk memilih kepala daerahnya yang baru atau Pemilihan Kepala Daerah
baik untuk tingkatan Gubernur, Bupati, Walikota serta para wakilnya di tentukan
oleh adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat yang berasaskan pada
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada (Pemilihan Kepala
Daerah Secara Langsung) sudah terjadi di ratusan tempat di seluruh Indonesia
(di download dari http://masbembengs.blogspot.com/2009/09/partisipasi-politik-masyarakat-dalam.html ).
Dari berbagai
pendapat diatas dapat disimpulkan pemilu merupakan media pembangun Partisipasi
Politik Masyarakat/Pemilih dan sebagai sebuah sarana untuk mengisi sebuah
jabatan serta pelaksanaannya yang bersifat langsung, umum, bebas, jujur dan adil.
a.
Fungsi
Pemilu
Fungsi pemilu (dalam Kansil 2000:241) yaitu:
1.
Mempertahankan dan mengembangkan sendi – sendi
demokrasi di Indonesia.
2.
Mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.
3.
Menjamin suksesnya perjuangan orde baru : tetap
tegaknya Pancasila dan UUD 1945.
b. Asas – asas pemilu
Asas – asas
pemilu pemilu (dalam Kansil
2000:239-240) yaitu:
·
Langsung, Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk
memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani, tanpa perantara.
·
Umum, Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti pemilu. Pemilihan
yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh
bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,
golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
·
Bebas, Setiap warga negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa paksaan dari siapapun. Didalam melaksanakan haknya,
setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan
kehendak hati nurani dan kepentingannya.
·
Rahasia, Dalam memberikan suaranya pemilih dijamin
bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan
apapun, pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak diketahui
oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan
·
Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap
penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu,
pemantau pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
·
Adil Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilu dan
peserta pemilu mendapat peralatan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
manapun.
c. Tujuan Pemilu
Jimly
Asshiddiqie merumuskan tujuan penyelenggaraan pemilu menjadi 4 ( dalam Sukriono 2009:20), yaitu :
a.
untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib
dan damai
b.
untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan
c
. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat
d. untuk melaksanakan
prinsip hak-hak asasi warga negara.
B. PARTISIPASI
Secara etimologis, patisipasi berasal dari bahasa latin patisipare yang
berarti mengambil bagian atau turut serta. Sastrodipoetra dalam Saiful Arif
(2012) di download dari http://badandiklat.jatengprov.go.id/index.php?p=wi&m=dt&id=103, menyatakan
partisipasi sebagai “keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai
kesadaran dan tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan
bersama”. Sementara Rahnema (Saiful
Arif, 2012 : 45) menyatakan patisipasi sebagai “the action or fact
or partaking, having or forming a part of”.
Partisipasi politik memiliki pengertian
yang beragam. Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pendapatnya tentang
partisipasi politik diantaranya yaitu:
© Menurut
Ramlan Surbakti (2007:140) yang
dimaksud dengan partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa
dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau memengaruhi hidupnya
© Menurut Miriam Budiardjo (2013) di download
dari http://badandiklat.jatengprov.go.id/index.php?p=wi&m=dt&id=103, partisipasi
masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk
turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan
memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti:
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan
hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah
atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial
dengan direct actionnya, dan sebagainya.
© Menurut
Davis (2005) dalam Hartina (2014 :
1546) “Partisipasi adalah Keterlibatan pikiran dan emosi seseorang dalam
situasi kelompok yang memberikan semangat untuk menyokong kepada tujuan
kelompok dan mengambil bagian tanggung jawab untuk kelompok itu sendiri.”
© Sumarto
(2008) dalam Hartina (2014 : 1546)
mengatakan bahwa Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan
keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan
yang dapat menyalurkan aspirasi.
© Menurut
Joko J. Prihatmoko (dalam Yusuf A.R
2010: 14-15), partisipasi politik adalah aktivitas yang dengannya individu
dapat memainkan peran dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia
mempunyai kesempatan untuk memberi andil dalam menggariskan tujuan-tujuan umum
kehidupan masyarakat tersebut, dan dalam menentukan sarana terbaik untuk
mewujudkannya.
©
Menurut Arbi Sanit (dalam Yusuf A.R 2010: 15), partisipasi
politik adalah peran serta masyarakat secara kolektif di dalam proses penentuan
pemimpin, pembuatan kebijaksanaan publik, dan pengawasan proses pemerintahan.
©
Menurut Rush and Althoff (2010) dalam Hartina (2014 : 1546) Partisipasi
Politik adalah keterlibatan individu dalam berbagai sistem dan aktivitas
politik. Aktivitas politik tersebut bisa bergerak dari keterlibatan sampai pada
keinginan untuk menduduki jabata tertentu.”
© Menurut
Samuel (2008) dalam Hartina (2014 :
1546) “Partisipasi Politik merupakan kegiatan warga yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
Pemerintah.”
© Menurut
Gabriel (2005) dalam Hartina (2014 :
1546 - 1547) bentuk Partisipasi Politik yaitu :
1. Konvensional
adalah pemberian suara (Voting), Diskusi Politik, Kampanye, membentuk
dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan
pejabat Politik dan administratif.
2. Nonkonvensional
adalah pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan
politik terhadap harta benda (pengerusakan, pengeboman, dan pembakaran), tindakan
kekerasan politik terhadap manusia (penculikan dan pembunuhan), serta perang
gerulya dan revolusi.
Dapat disimpulkan bahwa Partisipasi Politik adalah
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan politik dalam rangka mempengaruhi
pembuatan keputusan pemerintah salah satunya dengan ikut memberikan aspirasinya
pada saat Pemilu.
C.
PEMILIH
Menurut Hartina
(2014 : 1546) pasal 1 ayat (22) UU No. 10 Tahun 2008, Pemilih adalah warga
negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah pernah kawin. Kemudian Pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan
bahwa Pemilih yang memiliki hak adalah warga Negara Indonesia yang didaftarkan
oleh penyelenggara Pemilu dalam Daftar Pemilihan dan pada hari Pemungutan Suara
telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin
(dalam Hartina 2014 : 1547). Merujuk
dari pendapat tersebut Gigerenzer & Goldstein (2011) dalam Hartina (2014 : 1547) menyebutkan bahwa
terdapat kelompok Masyarakat/Pemilih yang lebih mengutamakan rasionalitas dalam
menentukan siapa yang akan mereka pilih. Sehingga disimpulkan bahwa Pemilih
merupakan Warga Negara Indonesia yang namanya terdaftar dalam Daftar Pemilih
Tetap (DPT) dan telah Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau
sudah pernah kawin.
D.
KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH
Menurut Daniel.S.
Salosa (2005) dalam Juprianus
(2014:2030) Komisi Pemilihan Umum Daerah yang disingkat KPUD adalah komisi yang
telah diberi tugas dan wewenang dari KPU pusat untuk menyelenggarakan
Pemilukada didaerah-daerah yang dimulai dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan
dan tahap pengesahan dan pelantikan.
ANALISIS
MENGENAI PERKEMBANGAN PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN GOLPUT
Negara Indonesia adalah negara
demokrasi. Jadi, salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemilihan
umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan
kenegaraan atau pemerintahan. A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum
merupakan sarana pelaksana asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya
merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politis rakyat sekaligus merupakan
pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil - wakilnya untuk
menjalankan pemerintahan (dalam Anjalline,
dkk 2014 : 42). Seperti yang kita ketahui bahwa pemilu merupakan salah satu
bentuk dari partisipasi politik masyarakat atau pemilih.
Dengan mengutip pendapat Hartina (2014 : 1551), partisipasi
politik pemilih adalah salah satu bentuk pemberian aspirasi masyarakat melalui pemilukada.
Menurut Ibrahim (2005) “partisipasi politik didefenisikan sebagai keikutsertaan
warga negara dalam bentuk yang terorganisir dalam membuat keputusan-keputusan
politik, dengan keikutsertaannya yang bersifat sukarela atas kemauan sendiri,
didasari oleh tanggungjawab terhadap tujuan sosial secara umum dan dalam
koridor kebebasan berpikir dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Masyarakat atau
pemilih yang namanya terdaftar dalam daftar pemilih tetap, banyak masyarakat
yang mempergunakan kesempatan tersebut untuk menyampaikan aspirasinya melalu
pemilukada ini dengan ikut memberikan suaranya pada pelaksanaan pemilukada
tersebut. Namun ada juga sebagian masyarakat yang enggan berpartisipasi
didalamnya karna berpikir tidak ada perubahan yang signifikan pada mereka jika
ikut berpartisipasi ataupun tidak ikut berpartisipasi.
Merujuk
pemikiran politik tersebut (dengan mengutip pendapat Soebagio 2008:83) dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan
umum sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat
partisipasi politik dan perkembangan golput di Indonesia. Secara kuantitatif
tampilan tingkat partisipasi politik dalam Tabel 1 menunjukkan, bahwa tingkat
partisipasi politik pada pemilu rezim Orde Lama (1995), rezim Orde Baru
(1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup tinggi, yaitu
rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relative rendah,
yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
Tabel 1. Tingkat
Partisipasi Politik Pemilih dan Golput Dalam Pemilu di Indonesia
No.
|
Pemilu
|
OPP
|
Tingkat
Partisipasi
Politik
(%)
|
Golput
(%)
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11
|
1955
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
Pileg 2004
Pilpres I
Pilpres II
|
118
10
3
3
3
3
3
48
24
24
24
|
91,4
96,6
96,5
96,5
96,4
95,1
93,6
92,6
84,1
78,2
76,6
|
8,6
3,4
3,5
3,5
3,6
4,9
6,4
7,3
15,9
21,8
23,4
|
Sumber:
PPs UNIS Tangerang 2008, Diolah dari KPU dan BPS (dalamSoebagio 2008:83).
Cukup tingginya
tingkat partisipasi politik pemilih pada pemilu era Orde Baru (1971 s/d 1977)
tersebut, dinilai oleh komunitas akademik merupakan bentuk partisipasi politik
yang dimobilisasikan, yaitu bukan bentuk partisipasi politik secara sukarela
atau atas kesadaran politik secara personal. Penilaian tersebut relevan dengan
pendapat Wiener (1994) dalam Soebagio
(2008:84) bahwa:
“Beberapa
studi secara eksplisit tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang
dimanipulasikan sebagai partisipasi politik, yaitu lebih menekankan sifat
sukarela dari partisipasi dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi
atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah Pemerintah tidak termasuk
partisipasi politik”.
Di era Orde Baru
partisipasi politik yang dimobilisasikan merupakan kontribusi hasil mobilisasi
politik yang dilakukan oleh jaringan aparat birokrasi pemerintahan Orde Baru,
bersinergi dengan dukungan pengaruh para tokoh-tokoh masyarakat karismatik
sebagai panutan yang telah dikooptasi oleh birokrasi pemerintahan sebagai
wasit, namun ikut bermain politik sebagai orang Golkar. Kinerja kolaboratif
tersebut membuktikan mampu menekan presentase tingkat Golput. Namun secara
empirik terjadi fenomena menarik mulai penyelenggaraan Pileg 2004, dimana
tingkat partisipasi politik menunjukkan trend penurunan, yaitu 84.1%,
dan kemudian turun lagi pada Pilpres II menjadi 76.6% disatu sisi, dan disisi
lain angka Golput juga menunjukkan trend peningkatan secara potensial,
yaitu pada Pileg 2004 sebesar 15.9% meningkat menjadi 23.4% pada Pilpres II(Soebagio 2008:84).
Kondisi peningkatan jumlah Golput di
wilayah partisipasi politik tingkat nasional tersebut, nampaknya juga menular
pada wilayah partisipasi politik tingkat lokal dalam proses politik
penyelenggaraan Pilkada, sebagai bagian integral dari kegiatan Pemilu, terutama
yang berlangsung di wilayah Pulau Jawa sebagai konsentrasi mayoritas penduduk
di Indonesia, sebagaimana tercermin dalam Tabel 2 (Soebagio 2008:84).
Tabel 2. Perkembangan Tingkat Golput Dalam Pilkada di Pulau Jawa
No.
|
Provinsi
|
Pelaksanaan
Pemilu
|
Tingkat
Golput
(%)
|
1
2
3
4
5
|
Banten
DKI
Jabar
Jateng
Jatim
|
26-11-2006
08-08-2007
13-04-2008
22-06-2008
29-07-2008
|
39,17
34,59
32,70
41,50
39,37
|
Sumber: PPs UNIS Tangerang 2008, Kompas diolah (dalam
Soebagio 2008:84).
Tampilan
data aktual hasil Pilkada tersebut menunjukkan, bahwa secara kuantitatif
tingkat Golput cukup signifikan, yaitu mencapai prosentase rata-rata lebih dari
30% dari jumlah pemilih terdaftar, dan tentunya secara kualitatif cukup
memberikan warning bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Secara
empirik peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas (Soebagio 2008:84) sebagai berikut:
a. Pemilu
dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat
b. Menurunnya
kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang
realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak
kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok
atau golongannya.
c. Merosotnya
integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif
dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik.
d. Tidak
terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada
publik yang mendukungnnya
e. Kejenuhan
pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan
seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.
f. Kurang
netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan
keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas
sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas.
Secara
prediktif jika kondisi politik dan ekonomi kurang kondusif, maka
penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2009 nampaknya juga akan menghadapi realitas
kondisional, yaitu di satu sisi penurunan partisipasi politik pemilih, dan di
sisi lain meningkatnya jumlah Golput, sehingga akan timbul apatisme politik,
seperti dikemukakan oleh McClosky (1972) dalam Soebagio (2008:83) bahwa:
“Ada yang tidak ikut pemilihan
karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai,
masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi
kebijakan Pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan
kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana
ketidaksertaan merupakan hal yang terpuji”.
Bahkan secara spesifik kondisi tersebut
juga akan diwarnai eksistensi golput juga akan mengalami eskalasi, yaitu tidak
hanya di wilayah masyarakat perkotaan yang relatif terdidik, tetapi juga akan
menyebar ke wilayah masyarakat pedesaan yang potensi jumlah pengangguran dan
masyarakat miskin cukup signifikan (Soebagio
2008:85).
Kekecewaan masyarakat
terhadap proses demokrasi dalam pemilihan umum yang lalu karena banyaknya
janji-janji politik yang dilakukan oleh politisi, masyarakat sudah sadar akan
janji – janji politik sehingga memutuskan untuk tidak memilih (golput).
Ekspresi golongan putih (golput), juga telah menjadi bagian demokrasi, tentu
tidak bisa dielakkan dalam setiap momen pemilihan umum. Menurut persepsi
ahli-ahli politik, golput itu sendiri adalah sebagai bentuk menifestasi dari demokrasi.
Melakukan sikap golput karena tidak ada pilihan baginya baik terhadap partai
maupun terhadap kandidat yang diusung dan atau ditetapkan KPU. Itulah sebabnya
diperlukan penguatan sistem kepartaian dalam rangka perjalanan sebuah sistem
politik yang demokratis. Walaupun secara internal, partai politik (parpol)
masih banyak menyisakan masalah yang pelik terkadang sungguh amat ironis,
karena gagal mempraktekkan demokrasi internal mereka sendiri (dengan mengutip
pendapat Patawari 2012:3).
Ada banyak lagi penyebab terjadinya golput pada saat
pemilu. Hal ini di dapat di buktikan dengan data golput dalam tabel di atas. Kemudian
dapat disimpulkan penyebab terjadinya golput terjadi karena beberapa faktor
(dalam Bismar
Arianto 2011:56-58) yaitu:
1.
Faktor Internal
a.
Faktor Teknis
Faktor teknis yang penulis maksud
adalah adanya kendala yang bersifat teknis yang dialami oleh pemilih sehingga
menghalanginya untuk menggunakan hak pilih. Seperti pada saat hari pencoblosan
pemilih sedang sakit (faktor teknis mutlak), pemilih sedang ada kegiatan yang
lain (faktor teknis tolerir) serta berbagai hal lainnya yang sifatnya
menyangkut pribadi pemilih.
b.
Faktor Pekerjaan
Faktor pekerjaan adalah
pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam pemahaman
penulis memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang
yang bekerja, paling banyak bekerja di sektor pertanian yaitu 42,83 juta orang
(39,88 %), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68 %), dan
sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54 %).
Data di atas menunjukkan
sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana
penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor
informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja
berarti tidak ada penghasilan. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan
pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan mengancam berkurang yang
penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih.
2.
Faktor Eksternal
a. Faktor Administratif
Faktor adminisistratif
adalah faktor yang berkaitan dengan aspek adminstrasi yang mengakibatkan
pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Diantaranya tidak terdata sebagai
pemilih, tidak mendapatkan kartu pemilihan tidak memiliki identitas
kependudukan (KTP). Hal-hal administratif seperti inilah yang membuat pemilih
tidak bisa ikut dalam pemilihan. Pemilih tidak akan bisa menggunakan hak pilih
jika tidak terdaftar sebagai pemilih. Maka masyarakat baru bisa terdaftar
sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat.
Golput yang diakibat oleh
faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas pendata pemilih
melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi rumah-rumah
pemilih. Selain itu dituntut inisiatif masyarakat untuk mendatangi petugas pendataan
untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Langkah berikutnya DPS (Daftar Pemilih
Sementara) harus tempel di tempat-tempat strategis agar bisa dibaca oleh masyarakat.
Masyarakat juga harus berinisiatif melacak namanya di DPS, jika belum terdaftar
segara melopor ke pengrus RT atau petugas pendataan. Langkah berikut untuk menimalisir
terjadi golput karena aspek adminitrasi adalah dengan memanfaatkan data kependudukan
berbasis IT. Upaya elektoronik Kartu Tanda Penduduk (E KTP) yang dilakukan
pemerintahan sekarang dalam pandangan penulis sangat efektif dalam menimalisir
golput administratif.
b.
Sosialisasi
Sosialisasi atau
menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan
dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di Indonesia
cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota, gubernur pemilu
legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan pemilihan yang
lebih kecil RT/RW.
Kondisi lain yang
mendorong sosialisi sangat penting dalam upaya meningkatkan partisipasi
politik masyarakat adalah dalam setiap pemilu terutama pemilu di era reformasi
selalu diikuti oleh sebagian peserta pemilu yang berbeda. Pada Pemilu 1999
diikuti sebanyak 48 partai politik, pada pemilu 2004 dikuti oleh 24
partai politik dan pemilu 2009 dikuti oleh 41 partai politik nasional
dan 6 partai politik lokal di Aceh. Kondisi ini menuntut perlunya
sosialisasi terhadap masyarakat.
Permasalahan berikut yang
menuntut perlunya sosialisasi adalah mekanisme pemilihan yang berbeda
antara pemilu sebelum reformasi dengan pemilu sebelumnya. Dimana pada
era orde baru hanya memilih lambang partai sementara sekarang selian
memilih lambang juga harus memilih nama salah satu calon di pertai
tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009 dimana kita tidak
lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai. Kondisi
ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap pemilu.
Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di pedesaan
maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai penting, apalagi bagi
masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka
sosiliasi dari mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka
golput.
c. Faktor Politik
Faktor politik adalah
alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik masyarakat
tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya pilihan dari
kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan
dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan
hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan segala cara
dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap politik
sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma
ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori
politik instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada
agenda politik seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat
pada politisi.
Faktor lain adalah sebagian
politisi lebih dekat dengan para petinggi partai, dengan pemegang
kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan diri pada pemimpinnya di bandingkan
mendekatkan diri dengan konstituen atau pemilihnya, tingkah laku politisi yang
banyak berkonflik mulai konflik internal partai dalam mendapatkan
jabatan strategis di partai, kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda
partai. Konflik seperti ini menimbulkan anti pati masyarakat terhadap
partai politik. Idealnya konflik yang di tampilkan para politisi
seharusnya tetap mengedepankan etika politik (fatsoen). Politik
pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi maupun di sebagian
masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat dengan cara
mendapatkan suara rakyat. Sedangkan sebagian masyarakat kita, politik
dengan melakukan transaksi (money politik) semakin menjadi-jadi. Baru
mau mendukung atau memilih jika mendapatkan keutungan materi, maka
muncul ungkapan kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka
akan lupa janji.
Kondisi-kondisi yang
seperti penulis uraikan ini yang secara politik memengaruhi masyarakat
untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat semakin tidak yakin
dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti ini, masih banyak
politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam dikalahkan politisi yang
tidak baik.
KESIMPULAN
© Pemilu
merupakan media pembangun Partisipasi Politik Masyarakat/Pemilih dan sebagai
sebuah sarana untuk mengisi sebuah jabatan serta pelaksanaannya yang bersifat
langsung, umum, bebas, jujur dan adil.
© bentuk
Partisipasi Politik yaitu :
a) Konvensional
adalah pemberian suara (Voting), Diskusi Politik, Kampanye, membentuk
dan bergabung dalam kelompok kepentingan, dan komunikasi individual dengan
pejabat Politik dan administratif.
b) Nonkonvensional
adalah pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok, tindakan kekerasan
politik terhadap harta benda (pengerusakan, pengeboman, dan pembakaran),
tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan dan pembunuhan), serta
perang gerulya dan revolusi.
© Penyebab terjadinya golput pada saat pemilu:
§
Faktor internal
1. Teknis
2. Pekerjaan
§
Faktor eksternal
1. Administrasi
2. Sosialisasi
3. Politik
Masyarakat merupakan faktor sentral dalam suatu negara
demokrasi. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, demokrasi tidak akan dapat
diwujudkan, karena hakekat demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Salah
satu peranan masyarakat dalam negara demokrasi adalah partisipasi masyarakat
dalam Pemilu.
SARAN
Saran saya untuk mengurangi
angka golput dan meningkatkan partipasi masyarakat dalam pemilu sebaiknya lebih
meningkatkan atau memaksimalkan pendidikan politik di setiap sekolah untuk
mengubah pemahaman masyarakat bahwa politik itu kotor, buruk dan sebagainya,
struktur politik atau elit politik sebaiknya menjalankan fungsi, peran, tugas
dan tanggung jawabnya sesuai fungsinya masing – masing demi kebaikan bersama, memaksimalkan
fungsi sosialisasi politik kepada msyarakat,
DAFTAR PUSTAKA
Aribowo,
dkk. 1996. Mendemokratisasi Pemilu. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat
(ELSAM)
Kansil,
C.S.T. 2000. Hukum Tata Negara Republik
Indonesia. Jakarta:PT. Rineka Cipta
Ramlan,
Surbakti. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana
Indonesia
Jurnal
Anjalline,
dkk. 2014. Pengaturan Dana Kampanye Pemilihan Umum Sebagai Tanggung
Jawab Calon Anggota Legislatif Berdasarkan
Undangundang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jurnal Lentera Hukum,volume 1, no.1
Arianto, Bismar. 2011. Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih
Dalam Pemilu. Jurnal
Ilmu Politik Dan Ilmu Pemerintahan, Volume 1, No. 1
Hartina,
Andi. 2014. Partisipasi Politik Pemilih
Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Provinsi
Kalimantan Timur 2013 Di Desa Saliki Kecamatan Muara Badak
Kabupaten
Kutai Kartanegara. Journal Administrasi Negara Volume 5,
No. 3
Hendrik, Doni. 2010. Variabel-Variabel
Yang Mempengaruhi Rendahnnya Partisipasi Politik
Masyarakat Dalam Pilkada Walikota Dan Wakil Walikota
Padang Tahun 2008. Jurnal
Demokrasi Volume. 9, No. 2
Juprianus,
Welsen. 2014. Peran
Komisi Pemilihan Umum Daerah (Kpud) Dalam
Melaksanakan
Pilkada Tahun 2011 Di Kabupaten Malinau. jurnal Ilmu
Pemerintahan,
Volume 2, No. 2
Patawari. 2012. Sistem
Pemilihan Umum Legislatif. Volume
12 No. 1
Soebagio, H. 2008. Implikasi
Golongan Putih Dalam Perspektif Pembangunan Demokrasi Di
Indonesia. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Volume 12, No. 2
Sukriono,
Didik. 2009. Menggagas Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia. Jurnal Konstitusi,
Volume 2, No. 1
Yusuf
A.R, M. 2010. Peran Komisi Pemilihan Umum (Kpu) Dalam Pendidikan Politik.
Ganec Swara Volume 4 No.1
Artikel
Online